• SD NEGERI BOJONGKOPO
  • Belajar dengan Hati, Berkarya dengan Inovasi, Bersinar di Masa Depan

Ketika Hanya Satu yang Dipanggil, Tapi Dua yang Belajar...

Hari itu, aula sekolah dipenuhi tepuk tangan dan senyum bangga.
Guru memanggil nama-nama yang berprestasi.
Diserahkan piagam, hadiah, amplop...
Dan salah satunya adalah Nayla.
Ia melangkah ke depan dengan mata berbinar, menerima penghargaan di hadapan semua orang.
Ia pantas—ia memang anak yang rajin, pintar, dan aktif.

Tapi di sudut ruangan, duduk seorang anak bernama Bima.
Ia ikut semua kegiatan.
Ia latihan tanpa pernah bolos.
Ia berusaha. Tapi hari itu...
Namanya tidak dipanggil.
Tidak ada piagam. Tidak ada amplop. Tidak ada tepuk tangan.

Ia tersenyum kecil, menunduk, dan dalam diam bertanya,
"Apakah usahaku tidak cukup berharga?"

**

Nayla pulang dengan tangan penuh hadiah, tapi malam itu ia menangis.
"Bunda... aku takut nanti tidak dapat hadiah lagi kalau nilainya turun..."
Sejak kapan penghargaan menjadi tekanan?

Bima pulang dengan tangan kosong, tapi malam itu ibunya memeluknya erat,
"Anakku... dunia memang tak selalu melihatmu, tapi Tuhan tahu perjuanganmu."
Dan sejak malam itu, Bima belajar satu hal:
Bahwa nilainya bukan dari amplop atau tepuk tangan, tapi dari hatinya sendiri.

**

Lalu, aku bertanya dalam hati...
Apakah benar cara kita memberi penghargaan di sekolah sudah tepat?
Ketika satu anak pulang dengan amplop, dan yang lain pulang dengan luka.
Ketika pujian hanya diberikan pada hasil, bukan pada proses.
Ketika yang terlihat hanyalah puncak gunung, dan kita lupa pada yang mendaki tanpa suara.

**

Penghargaan memang penting. Tapi...
Lebih penting lagi membangun hati yang kuat, bukan hanya anak yang haus pujian.
Lebih mulia memberi ruang bagi semua anak untuk merasa dihargai, bukan hanya yang paling menonjol.
Karena hidup bukan lomba cepat-cepatan menang,
tapi perjalanan panjang tentang siapa yang tetap berdiri dengan baik,
meski tak pernah dipanggil ke atas panggung.

Komentari Tulisan Ini